Jumat, 18 Mei 2012

dampak kepentingan strategis CNPC di Myanmar Menurut Sudut Pandang Prinsip-Prinsip HAM PBB


1.1        Latar Belakang
                        Dalam perkembangan dunia internasional saat ini, era hidrokarbon telah memainkan peran penting dalam perkembangan industri dan cara hidup modern. Tapi harga untuk mendapat kemajuan ini lebih tinggi dari perkiraan. Dampak negatif penambangan, pengirirman, dan konsumsi minyak terhadap lingkungan, sosial dan kesehatan masyarakat serta hak asasi manusia (HAM) diseluruh dunia saat ini tergolong ujian yang sangat berat. Perhatian terhadap HAM sebagai dampak industri minyak semakin terpusat pada “militerisasi” ketika kekuatan militer bertindak melindungi pelaksanaan industri, khusunya untuk perusahaan multinasional. Militerisasi di sektor minyak meluas sebagai akibat pencarian global akan sumber minyak yang layak, karena perusahaan-perusahaan minyak utama melebarkan operasinya ke negara-negara dengan pemerintahan yang korup dan represif. Ketika perusahaan minyak medapatkan legitimasi untuk melindungi operasi penambangan dan jalur pipanya, industri ini meningkatkan kerja samanya dengan kekuatan militer yang memiliki catatan buruk dalam soal HAM.
                        Contoh kasus yang paling terkenal dalam kasus militeriasi sektor perminyakan telah terjadi di Myanmar pada awal 1990-an. Ketika itu perusahaan Unocal milik Amerika Serikat (AS)  dan konsoriumnya memutuskan bekerjasama dengan junta militer Myanmar dalam pembangunan jalur pipa Yadana. Meski catatan rezim militer dalam hal HAM yang mengerikan sudah banyak diketahui, perusahaan tetap melakukan kontrak dengan SLORC (State Law and Order Restoration Council), sekarang disebut State Peace and Development Council (SPDC), untuk menjaga keamanan selama pembangunan jalur pipa.[1] Pembela HAM percaya bahwa militeriasi tidak hanya ditujukan untuk menjamin keamanan, tetapi juga menyediakan tenaga kerja paksa untuk pembangunan infrastruktur jalur pipa. Militerisasi sepanjang jalur itu menimbulkan represi yang sangat signifikan, seperti pemaksaan relokasi seluruh penduduk kampung, tenaga kerja untuk operasi militer dan pembanguan barak, serta pemerkosaan dan pembunuhan warga di area tersebut. [2]
                        Militerisasi yang terjadi di Myanmar tidak hanya dilakukan oleh perusahaan Unocal milik Amerika saja, namun juga terdapat perusahaan CNPC milik China yang melakukan perdagangan bilateral dengan Myanmar. China merupakan negara besar sekaligus sekutu terdekat pemerintah militer Myanmar dalam hubungan politik dan perdagangan yang terus membaik. Dalam perjalanannya, kerapkali perusahaan tersebut melakukan militerisasi bersama pemerintah Myanmar,  demi memperlancar proyek yang dijalankan oleh kedua negara. Hal ini dikarenakan, China memiliki ikatan sejarah, politik dan ekonomi yang cukup penting dengan Myanmar, dan Myanmar merupakan negara non-komunis pertama yang mendukung kemerdekaan China pada tahun 1949. China merupakan negara yang mendukung setiap Junta Militer yang berkuasa dengan menyediakan persenjataan, dukungan politik di PBB ,pembangunan infrastruktur dan proyek untuk meningkatkan perdagangan lintas batas.[3] Hubungan baik antara Myanmar dengan China dapat dikatakan telah terjalin sangat lama, bahkan keduanya memiliki garis keturunan atau historis yang sama, dimana bangsa Myanmar merupakan keturunan dari bangsa Ming (China) yang pada saat dinasti Qing dikalahkan oleh pemerintahan dinasti Manchu, para tentara Ming serta pengikutnya juga melarikan diri dan mengungsi ke wilayah yang sekarang dikenal dengan negara Myanmar.  Maka tidak mengherankan jika sampai saat ini kedua negara masih melakukan hubungan bilateral dalam hal perdagangan senjata dan sumber daya alam yang saling menguntungkan.
                        Sesungguhnya kepentingan Cina di Myanmar merupakan sebuah strategi baru dalam hal memajukan iklim perekonomian yang stabil. Hal ini diimplementasikan China dengan menghadirkan perusahaan besar di Myanmar yang bernama CNPC (China National Petroleum Corporation). CNPC merupakan perusahaan pengelola minyak terbesar di China. Dalam sebuah keterangan yang diperoleh Departemen Statistik China, dimana perdagangan bilateral antara CNPC dan Myanmar mencapai USD 2,907 pada tahun 2009, mengalami peningkatan 10 persen dari tahun sebelumnya. Dengan total ekspor China ke Myanmar USD 2,26 Milyar dan Impor Myanmar mencapai USD 646 Juta. Sedangkan pada akhir 2008, perjanjian investasi China di Myanmar mencapai USD 1,331 Milyar, yang sebagian besar di pertambangan, energi listrik dan sektor minyak dan gas.[4] Disamping itu, terdapat data yang memperkuat bahwa China cukup mendominasi dalam hal perdagangan di Myanmar pada tahun 2008, seperti yang terlampir di bawah ini.
Grafik 1.1 Myanmar Imports (2008)




                       


            Sumber: Data Perdagangan Eksport-Import Myanmar (Economy Watch Content, 17 March 2010)
                        Berdasarkan data tersebut, menunjukan bahwa perdagangan terbesar di Myanmar diduduki oleh negara China. Dalam hal ini China memerankan peran yag besar dalam hal perdagangan persenjataan di Myanmar. Jika dibandingkan dengan Thailand, Singapore dan Malaysia, China memiliki presentase yang besar, dimana sebagian besar kebutuhan Myanmar di import dari China. Data tersebut merupakan data tahun 2008, dimana China memiliki presentase 30,1%, lebih besar dibandingkan negara lainnya. Sedangkan pada tahun 2009 mengalami kenaikan 10% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukan bahwa antusias kedua negara dalam melakukan hubungan perdagangan begitu besar. Kemudian menurut data statistik resmi, perdagangan perbatasan Myanmar pada tahun 2011-2012 mengalami kenaikan yang mencapai 3,046 miliar dolar AS ,naik sekitar 60 persen dari tahun 2010-2011 sekitar  1,9 miliar dolar AS. Peningkatan volume perdagangan ini lebih banyak di dominasi oleh perusahaan China yaitu CNPC, dibandingkan dengan negara lainnya seperti Thailand dan Bangladesh.[5] Berdasarkan data tersebut mengindikasikan bahwa hubungan kedua negara cukup kuat. Tidak hanya China yang membutuhkan Myanmar, namun juga Myanmar membutuhkan China sebagai pemasok kebutuhan Myanmar dalam hal persenjataan.
                        Apa yang terjadi di Myanmar, setidaknya menegaskan bahwa kepentingan perusahaan China (CNPC) di Myanmar begitu kuat, bahkan sampai saat ini perusahaan China masih menjalin kerjasama dengan negara tersebut khususnya dalam hal perdagangan persenjataan, dan pengeboran minyak yang menghubungkan jalur pipa gas dan minyak dari kilang minyak lepas pantai Myanmar menuju China. Namun dalam perjalanannya, kepentingan China tersebut sangat kontroversial dengan apa yang dilakukan China selama ini terhadap masyarakat Myanmar. Seringkali perusahaan ini menyebabkan penduduk minoritas Myanmar yang berada disekitar proyek tersebut, mengalami diskriminasi atau kekerasan oleh tentara Myanmar. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memperlancar relokasi area penambangan di Myanmar. Sehingga dengan adanya kekerasan yang dilakukan oleh tentara Myanmar, tidak menutup kemungkinan perusahaan tersebut melanggar prinsip-prinsip hukum HAM PBB yang telah tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dalam deklarasi tersebut terdapat kewajiban dan tanggung jawab aktor non-state terhadap HAM, salah satunya dalam memperkerjakan buruh, dan pelestarian lingkungan.  
                        Maka berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan menjelaskan lebih jauh terkait dengan kepentingan startegis perusahaan CNPC di Myanmar dilihat dari sudut pandang prinsip-prinsip HAM PBB. Maka dari itu melalui paper ini ada beberapa hal yang menjadi fokus pembahasan, diantaranya:
a.      Sejarah munculnya CNPC (China National Petroleum Corporation).
b.      Dinamika masuknya CNPC (China National Petroleum Corporation) di Myanmar
c.       Dampak Dari Kepentingan strategis CNPC (China National Petroleum Corporation) di Myanmar dilihat dari sudut pandang prinsip-prinsip HAM PBB





1.1.            Kerangka Teoritis
1.2.1    Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
                        Beberapa prinsip telah mencakup hak-hak asasi manusia internasional. Prinsip-prinsip tersebut pada umumnya terdapat di hampir semua perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan kewajiabn positif yang terletak pada setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu. Di dalam prinsip-prinsip HAM tersebut termuat sebuah Deklarasi yang secara langsung dalam kebijakan-kebijakan atau tindakan-tindakan juga membantu norma-norma pada tingkat internasional yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pada peraturan ini dilengkapi dengan sebuah deklarasi yang berisi pernyataan sikap pemerintahan negara-negara untuk mematuhi beberapa peraturan pokok, termasuk peraturan mengenai ”perlakuan nasional”(national treatment). Ini berarti bahwa afiliasi atau  cabang-cabang perusahaan-perusahaan asing tidak mendapat perlakuan secara berbeda dengan perusahaan-perusahaan dalam negeri (domestik).
                        Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan element pertama dari Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia Internasional (International Bill of Rights) yakni suatu tabulasi hak dan kebebasan fundamental. Ketika DUHAM diterima, resolusi itu juga menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menyebarluaskan isi deklarasi tersebut. Hak dan kebebasan yang tercantum dalam DUHAM mencakup sekumpulan hak yang lengkap, baik itu hak sipil, politik, budaya, ekonomi, dan sosial setiap individu maupun beberapa hak kolektif. Dalam pengertian hukum yang sempit, deklarasi tersebut mengindikasikan pendapat internasional. Semua anggota PBB sepakat untuk menghormati hak asasi manusia ketika mereka  masuk dalam organisasi ini.
1.2.1.1 Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya[6]
                        Kovenan  mengenai hak ekonomi sosial dan budaya terdiri dari tiga puluh satu (31) pasal yang diatur dalam 6 bagian, yang bagian pertamanya sama dengan saudaranya KIHSP. Jantung dari Kovenan ini berada pada Bagian III (pasal 6-15) yang menguraikan hak-hak yang dilindungi, yaitu:
a.       Hak atas kerja (right to work)
b.      Hak atas kondisi kerja yang layak (pasal 7)
c.       Hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh (pasal 8)
d.      Hak atas jaminan sosial (pasal 9)
e.       Hak atas perlindungan bagi keluarga (pasal 10)
f.       Hak atas standar hidup  yang layak, termasuk  hak  atas pangan,  pakaian dan tempat    tinggal (pasal 11)
g.      Hak atas kesehatan (pasal 12)
h.      Hak atas pendidikan (pasal 13) 
i.        Hak atas kebudayaan (pasal 15)
           Disamping itu berbagai yurispruden di tingkat nasional, regional maupun internasional menawarkan batasan dari hak-hak tersebut  yang juga dapat membentuk  dan  mengembangkan standar hukum hak asasi manusia. Sebagai contoh, Komite secara konsisten menyatakan bahwa penggusuran merupakan  pelanggaran dari hak atas tempat tinggal, seperti halnya negara Myanmar dimana pihak junta militer dinyatakan melakukan  pelanggaran HAM. Sikap-sikap demikian dapat dikatakan memiliki fungsi lebih dari sekedar saran dan quasi legal. Melalui putusan-putusan demikian perlawanan kelompok  masyarakat yang dirugikan memperoleh landasan (hukum) yang semakin kuat.
1.2.1.2 Norma-norma PBB Tentang Tanggung Jawab dari Perusahaan Multinasional   dan Usaha Bisnis Lainnya Terhadap Hak Asasi Manusia [7]
           Berdasarkan norma-norma PBB tentang Tanggung Jawab dari Perusahaan Multinasional dan Usaha Bisnis Lainnya Terhadap Hak Asasi Manusia, tentang ”Menghormati Kedaulatan Nasional dan HAM”, Menegaskan bahwa: ”Korporasi Multinasional dan usaha bisnis lainnya harus mengakui dan menghormati norma-norma penerapan dari hukum internasional, hukum nasional dan regulasi-regulasi juga praktek-praktek administratif, aturan hukum, kepentingan publik, tujuan-tujuan pembangunan, kebijakan-kebijakan ekonomi dan budaya termasuk transparansi, akuntabilitas dan pencegahan korupsi serta kewenangan dari negara dimana perusahaan beroperasi”.
           Dalam norma ini disebutkan perusahaan asing dan usaha bisnis lainnya dilarang untuk menawarkan, berjanji, memberi keuntungan secara sadar atau menerima permintaan suap, atau keuntungan tidak patut lainnya pada pemerintah, pejabat publik ,kandidat pemilu, anggota militer dan polisi. MNC juga dilarang terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada dukungan suatu negara atau entitas yang mendukung dilarangnya HAM. Dan mereka mesti memastikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak digunakan untuk melanggar HAM.
           Dilaporkan oleh Sekjend PBB adalah juga mendasar bahwa untuk mempertimbang- kan kewajiban dan tanggung jawab dari aktor perusahaan multinasional, termasuk organisasi internasional dan aktor privat. Sebagai tambahan adalah penting untuk menguji kewajiban ekstranasional negara (kewajiban negara terhadap warga negara dari negara lain). Dalam konteks ini, kewajiban untuk menghormati Hak atas Pangan akan berarti, misalnya bahwa negara harus mengambil tindakan atas segala dampak negatif terhadap Hak atas pangan yang dirasakan orang di negara lain, dan harus memastikan bahwa hubungan dagang tidak merusak Hak atas Pangan dari orang yang hidup di negara lain. Kewajiban untuk melindungi, berimplikasi bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melakukan pengaturan terhadap perusahaan dan dunia yang beroperasi di negara lain dalam usaha mencegah kekerasan. Kewajiban untuk memfasilitasi akses atas pangan dan untuk menyediakan dana ketika diperlukan juga penting, tetapi ditujukan terutama untuk yang paling kontrovesial.[8]

1.3 Pembahasan
1.3.1  Sejarah Munculnya CNPC (China National Petroleum Corporation).
            China National Petroleum Corporation atau CNPC merupakan perusahaan pengelola minyak terbesar di China. CNPC didirikan pada 17 September 1988 untuk menggantikan Ministry of Petroleum Industry (MOPI) yang berdiri sejak 1949. CNPC bertanggung jawab terhadap eksplorasi dan pengembangan cadangan gas alam dan minyak di darat. CNPC memiliki 20 ladang minyak dan cadangan gas alam dan minyak. Aset CNPC terpenting dibendel dalam cabangnya PetroChina Limited Co, yang sahamnya terdaftar secara internasional di bursa efek Hongkong pada April 2004 dan Bursa New York pada 2000.[9]
            Pada tahun 1995, CNPC menambahkan Muglad Basin di Venezuela. Pada Oktober 1997, CNPC memperoleh 60.7% saham di Aktyubinsk Oil Company (sekarang Aktobemunaigaz), memungkinkan akses ladang minyak di Kazakhstan Barat. Produksi minyak CNPC menyumbang 89% produksi minyak China pada tahun 1996. Pada tahun 1998, CNPC reformasi struktur perusahaannya. Sebagai bagian dari restrukturisasi pada tahun 1999, CNPC mendirikan cabang China National Petroleum Co., Ltd. (China Petroleum atau Petro China). CNPC sendiri menyuntikan sebagian besar asetnya di saham PetroChina. Sehingga 90% saham PetroChina sendiri dikuasai oleh pemerintah China.[10]
a.       Pemerintah Sebagai Stakeholder Definitif dalam CNPC (1988-1998)
            Disebabkan lingkungan politis dan ekonomi China, CNPC pada tahun 1988, tidak hanya sebagai perusahaan tetapi juga organisasi resmi pemerintah. Didirikan dibawah MOPI, CNPC mengambil alih tanggung jawab sosial yang tadinya dilaksanakan MOPI selama 1949-1988. Semua manajer senior CNPC ditunjuk oleh pemerintah sehingga CNPC tidak benar-benar independen dari pemerintah.
            Dari perspektif ekonomi, CNPC pada masa 1988-1998 didirikan untuk memenuhi permintaan energi nasional dibawah sistem ekonomi komando terpusat. Setiap tahunnya, pemerintah pusat menyusun perencanaan konsumsi anggaran yang memandu seluruh aktivitas CNPC. CNPC berperan sebagai alat pemerintah dengan sedikit kebebasan.
            Aktivitas CNPC hanya memperhatikan satu stakeholder saja yakni pemerintah. Pemerintah China memiliki 3 atribut sesuai dengan teori stakeholder milik Ronald K Mitchell. Pertama, pemerintah memiliki kedaulatan untuk mempengaruhi dan mengendalikan CNPC. Seluruh senior manajer tunduk dan kesemuanya dipandang sebagai pejabat daripada pengusaha. Seringkali presiden CNPC memiliki kedudukan setingkat menteri karena biasanya menteri dari kementerian minyak ditunjuk sebagai presiden CNPC.
            Atribut stakeholder yang lain juga dimiliki oleh pemerintah. Legitimasi merupakan atribat terkuat pemerintah. Pada saat itu, pemerintah mengakui bahwa pembentukan CNPC ditujukan untuk menciptakan masyarakat komunal yang mana setiap orang disetarakan dan dibayar oleh kebutuhan yang pada akhirnya ditujukan pembangunan masyarakat. Pada awal 1980, persepsi yang demikian diterima oleh masyarakat luas. Ditambah dengan kegiatan CNPC yang sebagian besar mengambil alih tanggung jawab sosial pemerintah kepada masyarakat, memungkinkan CNPC dipandang sebagai organisasi pemerintah daripada perusahaan murni yang bertujuan untuk memaksimalkan saham stakeholder lain.
            Kesimpulannya, pada tahun operasi 1988-1998 pemerintah sebagai stakeholder paling menentukan bagi CNPC. Pada kenyataannya, pemerintah sebagai stakeholder penting mempengaruhi CNPC. Selama periode 1988-1998, seluruh keputusan diambil berdasarkan himbauan pemerintah. Hal inilah yang mengakibatkan, sebelum tahun 1988, CNPC tidak cukup kompetitif bersaing dengan perusahaan minyak asing (NOCs, National Oil Corporations dan IOCs, International oil Corporations). Di mata asing, CNPC bukan merupakan perusahaan ,tetapi sebagai perpanjangan tangan maupun tujuan-tujuan pemerintah. Pemerintah sendiri memiliki banyak badan pengelola kebijakan keamanan energi pada bagian suplai yakni State Development Planning Commision (SDPC) pada Maret 2003 berganti nama menjadi National Development and Reform Commision (NDRC), State Economic and Trade Commission (SETC), Ministry of Foreign Affairs (MF) dan militer. Stakeholder yang kurang berpengaruh dalam CNPC ialah institusi penelitian kebijakan luar negeri dan ekonomi, akademisi, dan media.[11]

Tabel 1.1 Perusahaan China Dalam Sektor Gas dan Minyak
 Berdasarkan tabel diatas, perusahaan CNPC menduduki posisi paling atas dibandingkan perusahaan lainnya, dimana CNPC mengungguli US$ 97,700 total asset, dan 1,000,000 employess pada tahun 1988.
b.       Stakeholder dalam CNPC (1998-2003)
            China diterima menjadi anggota WTO (World Trade Organization) pada tahun 2001. Keanggotaan China di WTO menandai momentum awal perubahan operasi CNPC. Perekonomian China dan sektor energi terhadap berbagai kerjasama dan negosiasi multilateral yang lebih luas daripada tahun-tahun sebelumnya. CNPC menghadapi lebih banyak tantangan dan kompetisi dengan perusahaan minyak asing seperti British Petroleum (BP), Royal Dutch Shell, dan Exxonmobil.
            CNPC kemudian didukung oleh pemerintah pusat untuk mulai menerapkan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan efesiensi dan nilai ekonomi perusahaan. Kebijakan ini sering dikenal dengan nama kebijakan reformasi dan restrukturisasi CNPC. Implementasi reformasi dan restrukturisasi ialah “downsizing”.[12] Dalam proses “downsizing”, tiga ratus ribu karyawan CNPC, hampir seperempat dari total karyawan yang bekerja di CNPC.
            Sebagian bagian dari reformasi dan restrukturisasi, CNPC lalu mendirikan cabang baru, PetroChina. Prinsip pendirinya adalah untuk mengadopsi sistem perdagangan dan pertukaran saham internasional. hal ini bertujuan membuat PetroChina lebih populer secara internasional daripada perusahaan induknya, CNPC. Dengan demikian, kapital CNPC dapat bersaing dengan perusahaan minyak asing secara global.
            Dampak fenomenal kebijakan “downsizing” merupakan bukti terdapat stakeholder lain yang sifatnya berbahaya, atau dangerous stakeholder, yakni karyawan CNPC. Karyawan yang dipecat kesulitan untuk mempertahankan kehidupan mereka sehingga memicu kerusuhan sosial yang meluas dengan cepat. Akan tetapi, kerusuhan ini selesai atas bantuan pemerintah pusat yang menawarkan paket solusi pada mereka.
            Meskipun kerjasama China dengan aktor eksternal lebih luas sejak diterimanya China sebagai anggota WTO, peran pemerintah pusat dalam pengelolaan CNPC tetap kuat. Sebagaimana pemerintah pusat berhasil menekan kerusuhan akibat kebijakan “downsizing” CNPC.
c.  Stakeholder dalam CNPC (2003-2005)
            Berkaca dari keberhasilan yang tidak terduga dalam pasar saham Hongkong dan New York, CNPC berniat untuk mengejar keuntungan ekonomis perusahaan lebih besar. Salah satunya ialah meningkatkan kepercayaan investor. Akan tetapi ledakan sumur gas di Kai wilayah kota Cong King[13] pada 23 Desember 2003 menjadi bukti bahwa CNPC mengabaikan tanggung jawab sosialnya dan terlalu fokus pada maksimalisasi nilai ekonomis perusahaan. Bertujuan untuk meningkatkan keuntungan kompetitif, CNPC menggalakan kampanye untuk mengurangi biaya produksi yang dampaknya keselamatan kerja dan tanggung jawab sosial jadi terabaikan
            CNPC mulai berorientasi untuk memaksimalkan nilai ekonomis perusahaan. Walaupun demikian, pemerintah tetap menjadi stakeholder krusial dan kuat bagi CNPC. Dalam kerangka kepemilikan saham, sebesar 90%[14] saham CNPC dan PetroChina dimiliki oleh pemerintah.[15] Dalam kerangka “power”, legitimasi, dan urgensi, pemerintah memegang pengaruh determinan dan kontrol terhadap aspek-aspek pengambilan keputusan tertinggi CNPC yakni penerbitan persetujuan investasi CNPC, menetapkan harga minyak domestik, dan perpajakan.


d.       Perkembangan CNPC Tahun 2010
            Seiring berjalannya waktu, permintaan minyak dunia di tahun 2010 meningkat 3.1% per tahun menjadi 87.382 juta barel per hari, malampaui puncak tahun 2007. Naiknya permintaan diikuti oleh naiknya harga. Raksasa minyak, PetroChina berada diperingkat keempat dari daftar 250 perusahaan top energi dunia. Dengan demikian PetroChina menjadi perusahaan pertama yang masuk dalam jajaran 5 besar. Aset PetroChina meningkat hampir lima kali ke 225 miliar USD di tahun 2010 dari hanya 52 milyar USD 10 tahun sebelumnya yang masih berada di peringkat 12 saat itu. Pendapatan meningkat 7.5 kali dalam periode yang sama. Hal tersebut sangat berdampak positif bagi laju perekonomian China.[16] Bahkan pada tahun 2012 perusahaan China ini akan memperluas jaringan di sekitar Kawasan Asia Pasifik dan sekitarnya.
1.3.2    Dinamika Masuknya CNPC (China National Petroleum Corporation) di Myanmar
Kepentingan China di Myanmar seiring perjalanannya mengalami perkembangan, tidak hanya Myanmar yang membutuhkan bantuan China namun juga sebaliknya China pun membutuhkan Myanmar untuk kepentingannya. Strategic Interest antara China dengan Myanmar tidak hanya terpaku pada perdagangan senjata, namun China membutuhkan Myanmar sebagai jalur pipa gas dan minyak dari kilang minyak lepas pantai milik Myanmar. Hubungan kerjasama dalam pembangunan jalur pipa ini telah dimulai sejak tahun 2004. Kerjasama berupa kontrak pembelian gas minyak dan alam dari Myanmar ke China melalui perusahaan Myanmar Oil and gas Enterprise   ( MOGE)  dan China Petro dan China National Petroleum Corporation (CNPC) akan berlangsung selama 30 tahun. CNPC akan berperan sebagai pelaksana utama proyek kerjasama ini .
China National petroleum Corporation (CNPC) dan Menteri Energi Myanmar, berdasarkan dalam perjanjian awal, telah menandatangani MoU untuk membangun jalur pipa minyak yang akan bertanggung jawab untuk mendesign, construction, operation dan management line.[17] CNPC akan memulai proyeknya dari pesisir pantai barat pelabuhan Kyaukryu, Myanmar, jalan masuk ke China di Ruili dan kemudian memperpanjang sampai ke ujungnya di kota Kunming, Ibukota Provinsi Yunnan. Sebelum adanya perjanjian tersebut, pengeksplorasian China di Myanmar hanya membantu Myanmar Oil & Gas Enterprise dalam eksplorasi di Myanmar. Namun, setelah adanya perjanjian tersebut China memegang 50% hasil dari eksplorasi di Myanmar dan tempat pengeksplorasian semakin bertambah.[18]
Sementara itu, CNPC juga akan membuat penampungan minyak yang akan di bangun di Myanmar pada tahun 2010, sementara pembangunan pipa minyak dan gas akan dimulai pada bulan September. Dalam perjanjian tersebut CNPC memegang 50.9%.[19] Dengan adanya perjanjian tersebut, China akan memiliki sumber daya alam (minyak dan gas) Myanmar dan dapat mengeksplorasi kekayaan alam tersebut karena CNPC memegang 50% lebih dalam pembagian hasil dari kekayaan alam tersebut. CNPC sendiri memiliki hak untuk mengendalikan sistem operasi pengelolaan minyak dan gas.Saluran pipa minyak tersebut juga akan memperpendek jarak pengiriman dari impor minyak ke Timur Tengah dan Afrika dengan jarak 1.200 km, dengan mengurangi waktu transport dan meningkatkan keamanan energi di China dengan menghindari jalur Selat Malaka yang dinilai rawan.
Gambar diatas, menunjukan bahwa rute perjalanan perusahaan CNPC yang sepakat untuk membangun pipa gas dan minyak bumi secara pararel yang akan dimulai dari kilang minyak lepas pantai Shwe field di wilayah Kyaukphyu, Myanmar dan berakhir di Kunming China. Rute jalur pipa sepanjang 2.806 KM yang memotong antara wilayah Myanmar ke wilayah China, melewati kota seperti Mandalay, Lashio, dan Muse di Myanmar dan masuk ke wilayah China melalui kota Rulli di wilayah provinsi Yunan, China. Rute pipa di China akan melewati kota seperti Kunming, Guizhou dan Guangxi di wilayah China. Kapasitas pipa sebesar 12 juta kubik minyak mentah pertahun ini menghabiskan biaya lebih dari 2,5 juta dollar Amerika. Jalur pipa ini akan mengubah rute impor minyak mentah China dari Timur Tengah dan Afrika serta menghindari “kemacetan” melalui Selat Malaka. China akan mulai mendapatkan atau menerima pasokan minyak dan gas ini pada bulan April 2013. Disamping itu pula perdagangan antara kedua negara tersebut mengalami kenaikan pada tahun 1990-an, setelah kunjungan Li Peng ke Myanmar dalam hal meningkatkan hubungan persaudaraan antara kedua negara (baobo qingyi).[20] Berikut ini merupakan daftar perdagangan eksport import Myanmar dengan China sejak tahin 1999.
Tabel 1.1 CNPC External Trade 1999 (US$10.000)
Countries
Total Import/Export
% of Total Trade
Myanmar
29952
18.05
Japan
13467
8.11
US
12836
7.73
Australia
6613
3.98
South Korea
4190
2.52

Source; Yunnan Yearbook 2000, Editorial Departement, Yunnan Nianjian 2000of Yunnan Yearbook, hlm.267.
Dari tabel diatas tersebut, dapat disimpulkan bahwa perdagangan CNPC dengan Myanmar sangat besar jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Inilah yang membuat China ingin terus meningkatkan kerjasama ekonominya. Namun kepentingan China tersebut sangat kontroversial dengan apa yang dilakukan China selama ini terhadap masyarakat Myanmar, dimana terdapat pelanggaran HAM yang terkait dengan konstruksi pipa dari pantai barat Burma menuju provinsi Yunnan di China. Bahkan pada bulan Maret 2012 lalu, puluhan pengunjuk rasa berkumpul di luar konsulat China untuk menuntut diakhirinya proyek jalur pipa gas tersebut. Proyek tersebut pada kenyataannya telah menyebabkan ribuan warga Myanmar mengungsi.
Kepentingan strategis CNPC yang dimiliki China, pada kenyataannya menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan terhadap warga Myanmar. Dampak negatif ini harus dapat dipertimbangkan dan diperhitungkan saat mengevaluasi dampak minyak terhadap pembangunan dan kemiskinan. Tindakan pemerintah Myanmar dan perusahaan CNPC dalam merespons dan menanggulangi dampak negatif ini harus dikritisi dan dianalisis. Karena minyak merupakan sumber daya alam yang bisa memberikan keuntungan finansial kepada komunitas lokal bila dikelola secara transparan dan seimbang. Karenanya, keuntungan itu harus dilihat dalam konteks potensial sosial minyak dan konsekuensi lingkungannnya bagi komunitas itu sendiri. Ilustrasi yang menggambarkan kondisi Myanmar merupakan potret dari dampak negatif masuknya perusahaan asing atas perdagangan bilateral di bidang ekonomi maupun militer, salah satunya terkait dengan jalur pipa gas dan minyak yang terdapat di wilayah Myanmar.
Hampir semua gas milik Myanmar telah diekspor untuk menghasilkan listrik di China yang mengakibatkan 75% penduduk Myanmar tidak menerima listrik sama sekali. Selain itu, tentara militer Myanmar telah melakukan kekerasan terbuka terhadap sekelompok penduduk Myanmar untuk melakukan penyitaan paksa ribuan hektar lahan pertanian di sekitar kawasan bagian Arakan dan Shan untuk  membersihkan jalan jalur pipa dan infrastruktur terkait proyek China tersebut. Bahkan kehidupan keluarga nelayan lokal di bagian Arakan telah hancur karena pembangunan infrastruktur lepas pantai untuk proyek ini. Sehingga tidak menutup kemungkinan konflik bersenjata akan berlangsung di negeri Myanmar akibat konstruksi pembangunan jalur pipa milik perusahaan China.[21]
Proyek pipa gas dan minyak kedua negara tersebut telah menimbulkan pelanggaran serius menurut undang-undang Myanmar. Ketegangan-ketegangan sepertinya semakin meningkatkan kemajuan dari konstruksi jalur pipa tersebut, bahkan  masyarakat lokal Myanmar menghadapi penolakan dalam mengakses lahan dan mata pencaharian mereka. Begitu pula dengan jalur pipa gas yang cukup menjangkau area panjang yang dipengaruhi oleh etnis-etnis yang terkena dampak pemerkosaan dan konflik internal.[22] Sampai sekarang, telah terjadi penyiksaan di lahan yang ditempati oleh sekelompok etnis, kompensasi yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan mereka, dan pelanggaran-pelanggaran yang tidak lazim mulai dikaitkan pada proyek pembangunan ini.  Penyelewengan serius lainnya juga telah terekam, seperti  pelecehan seksual dan intimidasi oleh tentara militer. Bahkan penahanan sewenang-wenang  dan penyiksaan terhadap tenaga kerja atau buruh kerap dilakukan demi memperlancar proyek tersebut. [23] Disamping itu, beberapa mahasiswa Myanmar kerap kali di tangkap dan di intograsi karena selalu melakukan perlawanan akibat konstruksi proyek tersebut.  Pemuda lokal setempat telah ditangkap tiga kali di desa tersebut berikut dengan keluarga nya. Contoh lainnya pada tahun 2009, pihak oposisi atau sekelompok etnik Myanmar  disiksa dan dipaksa untuk mengikuti partisispasinya dalam pertemuan diskusi terkait proyek China di Myanmar.

Mata saya ditutup dengan kain selama 4 hari oleh militer Burma. Selama 4 hari tersebut saya tidak dapat melihat apapun. Saya dipukuli tanpa henti. Mereka bertanya pada saya banyak hal. Mereka pun memukuli saya dengan sangat keras. Kadang-kadang mereka datang untuk menampar dan meninju saya dengan keras sekali. Mereka tidak berkata apapun, selain memukuli saya. Terkadang saya lelah bahkan saya tidak dapat tidur dan beberapa tentara memberi tahu saya, kalau saya dapat tidur hanya beberap menit saja. Selanjutnya mereka akan membangunkan saya dengan kembali memukuli saya.” (Sumber: Interview di  Myanmar 05-03-2010).
1.3.3  Dampak dari kepentingan strategis CNPC (China National Petroleum Corporation) di Myanmar dilihat dari sudut pandang prinsip-prinsip HAM PBB
a.      Dampak Terhadap Mata Pencaharian, Hak-hak Anak dan Pekerja Buruh Wanita
Jalur pipa kedua negara tersebut telah menyebabkan praktek kekerasan yang kejam sehingga dapat dikatakan menyalahi prinsip-prinsip HAM PBB atau norma hukum internasional terkait dengan hak-hak asasi manusia karena terjadinya pemerkosaan di wilayah domestik. Dibawah hukum domestik Burma, jenis sengketa lahan yang telah dirampas pun tidak diberikan perlindungan hukum dan tidak diberikan kompensasi, dari pihak yang terkait atas proyek tersebut. Jika dikaitkan dengan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM), dimana disitu tertera tidak diperbolehkan siapapun merampas tempat masyarakat pribumi tanpa terlebih dahulu diberitahu terhadap yang bersangkutan.[24]
Disamping itu, pemerintahan Myanmar juga telah gagal dalam menjelaskan proses kompensasi terhadap masyarakat yang terkena dampak proyek pipa gas dan minyak di daerah perbatasan. Proses proyek tersebut telah memunculkan korupsi atau penyelewengan dana yang terus menerus, sementara penduduk Myanmar tidak diberikan sedikitpun hasil dari perdagangan kedua negara tersebut. Beberapa penduduk telah menyatakan bahwa mereka telah menerima pesan dari perusahaan minyak tersebut mengenai lamanya lahan mereka akan tetap disita.
Banyak penduduk lokal yang mengalami dampak akibat konstruksi pipa tersebut dan kehilangan lahan mereka yang mana lahan tersebut merupakan mata pencaharian satu-satunya yang mereka miliki. Diperkirakan lebih dari 200 hektar lahan pertanian telah disita oleh otoritas Burma dari penduduk lokal untuk kegiatan eksplorasi. Praktek penyitaan lahan yang kejam ini memengimplikasikan hak-hak yang dilindungi dibawah Konvensi Hak-Hak Anak dan Konvensi Terhadap Diskriminasi Perempuan. Sebetulnya Burma itu sendiri telah meratifikasi kedua konvensi tersebut. Konvensi Anak yang mensyaratkan pihak negara untuk melakukan langkah-langkah yang tepat untuk membantu keluarga-keluarga dengan memberikan kehidupan yang layak terhadap mental anak, lahiriah, spiritual, moral dan pembangunan sosial. Termasuk hal-hal yang menyangkut dengan sandang, pangan dan papan yang harus terpenuhi oleh pihak negara. CEDAW mensyaratkan negara untuk mempertimbangkan masalah-masalah khusus yang dihadapi oleh perempuan pedesaan dan negara menjamin hak-hak terhadap perempuan . Proyek pipa gas dan minyak sangat berkaitan dengan perlindungan hak-hak yang diberikan pada masyarakat sekitar yang dapat dianggap penting.[25]
Dalam banyak percakapan dengan penduduk desa yang dilakukan oleh salah satu lembaga kemanusiaan, diantaranya mereka menyatakan bahwa penduduk desa menghadapi keputusasaan dalam menghadapi penyitaan yang dilakukan perusahaan China tersebut dan tentara Myanmar.[26] Mereka tidak memiliki kemampuan atau kesempatan untuk terlibat dalam pekerjaan lainnya. Salah satu percakapan mereka, ”kita semua akan kehilangan mata pencaharian kita, saya sekarang sudah tua, kita tidak dapat bekerja di perusahaan tersebut, saya tidak meinginginkan keponakan saya dapat bekerja disana. Mereka juga tidak menginginkan buruh-buruh wanita bekerja disana, saya saat ini tidak cukup memiliki beras untuk keluarga saya, saya khawatir terhadap kesehatan keluarga saya. Saya memiliki anak, dan mereka belajar untuk masa depannya.” Tidak ada satupun penduduk disini yang menerima bantuan dari perusahaan atau otoritas Burma.
Dari ilustrasi tersebut, menandakan bahwa kerusakan lingkungan dan sosial serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM ) merupakan bagian dari ketidaktelitian perusahaan minyak internasional dalam melakukan langkah-langkah yang memadai terhadap komunitas lokal yang menjadi miskin oleh operasi mereka. Komunitas lokal menjadi putus asa karena tidak memperoleh keuntungan, terkadang karena kerusakan lingkungan, penduduk lokal mengekspresikannya dalam bentuk pemberontakan terhadap perusahaan dan pemerintah. Tapi, respon yang didapatkan berbanding terbalik dari apa yang diharapkan, dimana seringkali mereka (perusahaan dan pemerintah) melakukan pelanggaran HAM atas aksi pemberontakan oleh sekelompok penduduk.
b.      Tenaga Kerja Paksa
Burma telah meratifikasi Konvensi Tentang Hak-hak Tenaga Kerja, yang mana disitu tertera bahwa negara tidak memberikan beban atau memperdaya mereka yang bekerja tetapi berkewajiban memberikan perlindungan dan keuntungan setiap individu yang bekerja. Burma secara langsung bertanggung jawab atas orang-orang yang bekerja di perusahaan asing yang berada di dalam negeri Burma itu sendiri.
Meskipun terdapat aturan yang mengikat atas larangan-larang yang telah diatur dalam undang-undang perburuhan, namun tentara Burma tetap menggunakan kerja paksa terhadap buruh-buruh tersebut dalam melancarkan proyek pipa gas dan minyak. Lembaga kemanusiaan menerima laporan bahwa tentara-tentara Burma di daerah kontruksi pipa memaksa penduduk-penduk desa untuk ikut serta dalam pasukan pemadam kebakaran dan milisi lokal. Salah satu penduduk menjelaskan, seorang pria dari tiap rumah dipaksa untuk melakukan latihan milisi. “Kita tidak menginginkan pekerjaan ini untuk keluarga kita. Tetapi mereka akan menekan kita jika kita tidak ikut bergabung dalam pelatihan ini.”
Disamping itu, tentara Burma mempergunakan penduduk lokal untuk bekerja dalam konstruksi klinik kesehatan yang merupakan bagian dari program sosial-ekonomi perusahaan tersebut. Penduduk desa yang bekerja dalam konstruksi tersebut sebelumnya tidak dikonsultasikan atau diberitahu terlebih dahulu. Hal ini sangat merugikan tenaga kerja, dimana terdapat hak-hak buruh untuk dapat bekerja sesuai dengan keinginannya. Sehingga tidak menutup kemungkinan ,hal ini akan menjadi perhatian dunia internasional salah satunya International Labour Organization (ILO).
c.       Dampak Terhadap Ekonomi, Sosial dan Budaya
Kehadiran tentara Myanmar yang dihubungkan dengan proyek jalur pipa gas dan minyak telah melakukan penyitaan terhadap kekayaan milik penduduk lokal dan menelususri terhadap aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang sekitar proyek penambangan. Penduduk lokal telah menyampaikan bahwa komandan angkatan laut melarang mereka untuk melakukan perjalanan jauh dan dibatasinya akses terhadap penangkapan ikan yang mana merupakan bagian dari mata pencaharian mereka. Selain itu, tentara militer telah menyita perlengkapan memancing dan peternakan, tanpa memberikan ganti rugi. Komandan angkatan laut pun menuntut pembayaran uang terhadap nelayan ,karena telah meletakan perahu mereka di laut.[27] Salah satu nelayan menyatakan, “memancing adalah pekerjaan tradisional untuk keberlangsungan hidup keluarga saya. Maka dari itu, saya tidak dapat memilki uang, karena mata pencaharian saya hanyalah dari hasil memancing. Bahkan mereka secara sistematik membinasakan kota yang kami miliki, tanpa ada tanggung jawab dari pihak perusahaan maupun pemerintah”[28]
Myanmar  pada dasarnya memiliki 100 penduduk asli, dengan bahasa dan dialek yang unik. Proyek pipa tersebut telah memotong wilayah-wilayah yang penduduk tempati, salah satunya wilayah Arakan dan Shan. Dalam percakapan etnis Arakan, mereka mengungkapkan ketidakmampuan mereka untuk menolak kehadiran proyek yang dimiliki perusahaan asing tersebut. Bahkan mereka kerapkali diperintah untuk meninggalkan tanah yang mereka tempati. Jika pihak perusahaan dan pemerintah Myanmar memerintahkan mereka untuk pindah, maka mereka meninggalkannya dengan keterpaksaan. Mereka mengatakan bahwa “kita tidak bisa menolak perintah mereka. Kita harus mengikuti kemauan mereka, karena mereka sangat berkuasa.”[29]
Dalam laporan penduduk sekitar pun menyatakan,bahwa tanah  mereka telah dirampas untuk proyek pipa gas ini. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk menolak, bahkan mereka tidak diberitahukan ketika mereka harus mendapat pembayaran dari lahan milik mereka. Perusahaan CNPC tidak bertanggung jawab dan mereka pergi meninggalkan kota tersebut, tanpa memberikan pembayaran yang semsetinya didapatkan oleh warga Myanmar.[30]
d.      Kebutuhan Listrik Warga Myanmar Terabaikan
Warga Myanmar saat ini menghadapi krisis terhadap kebutuhan listrik. Puluhan jutaan warga Myanmar tidak berlistrik. Desa Kya-oh terletak pada sebuah ladang yang kaya akan minyak di Myanmar tidak terhubung ke jaringan listrik nasional. Begitu pula dengan ratusan desa miskin lainnya mengalami hal serupa. Keprihatinan atas power supply dan investasi masa depan telah diperburuk oleh scrapping dari proyek listrik milik China. Konsumsi listrik di Myanmar, hanya mampu melayani 25 persen dari populasi penduduknya. Ini merupakan  yang terendah di dunia, rata-rata 104 kilowatt per jam per orang. Presentasi itu,  mendekati sama dengan Republik Demokratik Kongo dan Nepal, demikian  menurut data Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Myanmar merupakan negara terbesar di Asia Tenggara, merencanakan 48 proyek pembangkit listrik. Dari jumlah itu, 45 di antaranya adalah untuk stasiun tenaga air, yang akan meningkatkan kapasitas terpasang lebih dari 14 kali untuk 36.635 megawatt. Tetapi banyak dari proyek-proyek  bendungan China dengan anggaran USD 3.600.000.000 yang merupakan proyek listrik tenaga air terbesar Myanmar mulai dipertanyaan keberadaannya. Hubungan China dengan Myanmar mengalami ketegangan, sejak meningkatkan keprihatinan atas investasi masa depan dari mitra dagang kedua negara tersebut. Perusahaan China, termasuk milik negara China akan membangun setidaknya 33 dari 45 stasiun tenaga air yang direncanakan.[31]
1.4       Penutup
            Kesimpulan
                        Kepentingan strategis China di Myanmar memiliki tujuan yang kuat dalam hal membangun kerjasama yang solid. Salah satunya dengan melakukan perluasan ekonomi dan persenjataan dengan Myanmar. Namun seiring berjalannya waktu, kepentingan perusahaan CNPC yang dimiliki China telah melakukan kekerasan terhadap warga Myanmar dimana prinsip-prinsip HAM PBB telang dilanggar oleh masing-masing pihak yang bertanggung jawab dalam proyek tersebut. Beberapa hak-hak yang dilindungi, yaitu, Hak atas kerja, hak hak atas jaminan sosial, hak perlindungan bagi keluarga, hak atas standar hidup yang layak,termasuk hak atas sandang ,pangan dan papan, hak atas kesehatan,pendidikan dan kebudayaan, telah dilanggar oleh tentara Myanmar demi melancarkan proyek tersebut. Dal hal ini pemerintahan Myanmar telah gagal dalam melindungi dan mensejahterakan warganya. Begitupun dengan kedudukan perusahaan asing (CNPC) tidak memiliki tanggung jawab terhadap isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara Myanmar.
                        Kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan CNPC melahirkan dampak negatif bagi masyarakat Myanmar, baik secara sosial, ekonomi, budaya dan lingkungannya. Bahkan kompensasi untuk ganti rugi relokasi tanah, sama sekali tidak didapatkan oleh rakyat, namun yang ada berupa penyiksaan dan kekerasan lainnya, yang menimbulkan cacat fisik dan jiwanya. Kegiatan CNPC diprediksi masih akan berlanjut, karena CNPC pada tahun 2009 lalu telah menandatangani sebuah Memorandum of Understanding (MoU) dengan pihak perusahaan Daewoo milik Myanmar untuk mengimport gas dan minyak yang dimulai pada tahun 2012 sampai 20-30 tahun mendatang. Kepentingan strategis China di Myanmar akan tetap berlanjut, bahkan setelah terjadinya reformasi politik pada tahun 2011 di Myanmar, tidak menyurutkan China untuk berhenti bekerjasama dengan negeri terkaya akan sumber daya alam se Asia Tenggara tersebut. Diharapkan dengan kepentingan China di Myanmar ini, dapat merubah struktur kebijakan pemerintah baru ini agar dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar dan menghindari pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara Myanmar. Seandainya tahun 2012 sampai kontrak kerja sama dengan China ini tetap terjadi aksi pelanggaran HAM, maka sudah sepatutnya Organisasi Internasional (PBB) mulai turun tangan dan bersikap tegas dalam menyikapi persoalan tersebut.
            Saran
            Pihak Pemerintah Burma:
·         Pemerintah harus bertanggungjawab atas terjadinya pelanggaran HAM
·         Mengadopsi dan menegakkan hukum yang menimbulkan dampak lingkungan, sosial dan hak asasi manusia
·         Mengadopsi dan menegakan hukum yang membutuhkan sebuah transparansi pembayaran dari pertambangan minyak dan gas yang dilakukan perusahaan CNPC
·         Mengadopsi dan menegakkan hukum untuk memastikan proses penyitaan lahan penduduk dengan kompensasi yang adil.
·         Transparansi dalam hal proyek industri dan penyertaan masyarakat sipil yang bebas dan adil
·         Meratifikasi Konvensi PBB dalam rangka melawan korupsi yang ditandatangani oleh Myanmar itu sendiri
·         Memberlakukan moratorium pembangunan di proyek gas,pertambangan minyak,dan sektor listrik&tenaga air.
Referensi
Buku dan Jurnal

F. Sugeng Istanto. 1998. Hukum Internasional. Atma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta
Gunawan et al. 2007. Tentang TNC dan HAM, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS). Yogyakarta
Jurnal .2008. The Burma-China Pipelines: Human Rights Violations, Applicable Law, and Revenue Secrecy, EarthRights International, situatuion Briefer No.1
Pak K.Lee. 2008. China’s “Realpolitic” Engagement with Myanmar, China Security, Vol.5 No. 1, World Security Institute.
Quansheng Zhao. 1996. Interpreting Chinese Foreign Policy, The Micro-Macro Linkage Approach, Oxford University Press,
Yoshikazu Kobayashi.2008. Chinese NOC’s Corporate Strategies, The Institute of Energy Economics . Jepang

 Website dan Koran
http://www. earthrights. org/ pubs/TotaldenialContinues.pdf








LAMPIRAN-LAMPIRAN






Gambar. Saluran pipa milik CNPC di Myanmar






Gambar: Pasukan Penjaga Tentara Myanmar divisi 88, yang berada di dekat rute jalur pipa gas, Burma (26 Desember 2010)
Gambar: pengungsi warga Myanmar akibat konstruksi proyek pipa dan gas milik perusahaan CNPC




           


[1] Earth Rights International, Total Denial Continues (May 2000); 62 diakses pada http://www. earthrights. org/ pubs/TotaldenialContinues.pdf
[2] Ibid.
[3] Sejak lama China mempunyai kepentingan di kawasan Asia Pasifik di bidang politik, ekonomi serta strategi. Karena kpentingan ini, Cina selalu memasukan perkembangan-perkembangan yang terjadi di kawasan Asia ke dalam perhitungan-perhitungan luar negerinya.
[4] Myanmar dan China Jalin Kerjasama, Rabu 10 Maret 2010, diakses pada www.surabayapagi.com
[5] Berita ANTARA “Myanmar akan buka satu kawasan perdagangan perbatasan lagi dengan Thailand”, Edisi tanggal 13 Maret 2012
[6] F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta  1998, hlm.77
[7] Gunawan et al ,Tentang TNC dan HAM, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS),Yogyakarta 13-15 November 2007,hal 4.
[8] Secretry-General, Human rights questions; human rights questions, including alternative approaches for improving the effective enjoyment of human rights and fundamental freedoms, the right to food, United nations general Assembly, A/57/35627 Agusust 2002. Dikutip dari Gunawan et al ,Tentang TNC dan HAM, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS),Yogyakarta 13-15 November 2007.
[9] China National Petroleum Corporation 2007, CNPC History: Major Events, diakses pada tanggal 28 April 2012, http://www.cnpc.com.cn/eng/company/presentation/history/MajorEvents/2007.htm
[10] Yoshikazu Kobayashi, Chinese NOC’s Corporate Strategies, The Institute of Energy Economics, 17 september 2008, Jepang. Hal 10.
[11] Fareed Mohamedi 92009), China: a new model in overseas oil strategy, diakses tanggal 28 April 2012, http://www.china.org.cn/opinion/2009-09/11/content_18509242.htm
[12] “downsizing” merupakan salah satu kebijakan restrukturisasi CNPC demi mencapai efesiensi dan peningkatan nilai ekonomi perusahaan, meningkatkan modal, dan menarik investor asing.
[13] Ledakan ini menewaskan 243 orang dan melukai beberapa ribu orang yang tinggal di sekitar sumur gas.
[14] Yoshikazu Kobayashi,op.cit,hal.10
[15] Ibid., hal.10
[16] Zhonghua Wenhua, PetroChina Masuk Lima Besar Perusahaan Energi Dunia ,05 November 2011, dikutip pada PetroChina Joins World’s Top 5 Energy Ranks, 3 November 2011.
[17] Perjanijian dan penandatanganan MoU antara National Petroleum.Corp. (Perusahaan minyak dan gas nasional China (CNPC)) dan pemerintahan junta militer Myanmar yang diwakili oleh Menteri Energi Myanmar pada 2008 yang sebelumnya pada tahun 2001 sudah dilakukan kerjasama aksplorasi antara China dan Myanmar, seperti pada “China dan Myanmar Menandatangani Oil Pipeline Agreement’, yang dikutip pada http://www.migas-indonesia.com/index.php?module=article&sub=article&act-view&id=5139, pada pukul 07.00 WIB, Tanggal 29 April 2012.
[18] Pak K.Lee, China’s “Realpolitic” Engagement with Myanmar, China Security, Vol.5 No. 1, 2008, World Security Institute, hlm.102.
[19] Wan Zhihong, Yunnan to build new gas pipeline, China Daily, November 19,2008, http://www.chinadaily.com.cn/regional/2008-11/19/content_7219714.htm, seperti dalam tulisan Pak K.Lee, China’s “Realpolitic” Engagement with Myanmar, China Security, Vol.5 No. 1, 2008, World Security Institute, hlm.102
[20] Quansheng Zhao, Interpreting Chinese Foreign Policy, The Micro-Macro Linkage Approach, Oxford University Press, 1996,hlm.214.
[21] Irawadi, Demonstran Menuntut Akhir Pipa Gas Shwe, diterbitkan pada 02 Maret 2012
[22] Prosedur Kriminal di Burma, Ch.V.61, terjemahan oleh Ahli Hukum Burma, diakses pada http://www.blc-burma.org/html/Criminal%20 pada tanggal 28 April 2012
[23] Interview, 05-01-2010 di Kyaukpyu, Burma. Terdapat pada Jurnal The Burma-China Pipelines: Human Rights Violations, Applicable Law, and Revenue Secrecy, EarthRights International, situatuion Briefer No.1 March 2011, hal 7.

[24] Konvensi Hak-hak Anak, hal 27, dikutip pada http://www2.ohchr.org/english/law/crc.htm. Tanggal 28 April 2012
[25] Kovensi Terhadap Diskriminasi Perempuan ,hal.14 dikutip pada http://www2.ohchr.org/english/law/cedaw.htm. Tanggal 28 April 2012
[26] Interview 02-01-2010 di perbatasan Bangladesh-Burma; Interview 02-07-2010 di Kyaukpyu ,Burma;  Interview 07-09-2010 di Yenangyaung , Burma. Op.cit  hal 8.
[27] Interview 04-08-2010, in Kyaukpyu ,Burma. Op.cit, hal 12.
[28] Interview 05-01-2010, on the Bangladesh-Burma. Ibid,.
[29] Interview 05-04-2010 in Kyaukpyu, Burma. Ibid.,
[30] Interview 07-01-2010 in Magway, Burma, Ibid.,
[31] www.indonesiarayanews.com Puluhan Jutaan Warga Myanmar Belum Terselesaikan, tanggal 17 April 2012, diakses pada tanggal 29 April 2012.